Pernah nggak sih kalian baca buku yang saking kerennya, kalian bahkan nggak percaya kalau kisah di dalamnya itu beneran nyata? Bukan fiksi, melainkan hal nyata karena isinya jauuuh dari kata manusiawi. Setiap bab yang kubaca sukses bikin aku bertanya-tanya, “Ya Tuhan, apakah sejarah kita memang sekelam ini?”
Kalau jawaban kalian “Ya,” aku yakin salah satu buku itu adalah karya Leila S. Chudori, “Laut Bercerita.”
Awalnya, aku jujur skeptis. Nggak pernah terlintas di benakku buat baca buku bersampul laut itu. Kayaknya isinya berat dan nggak bakal cocok sama aku. Tapi seiring berjalannya waktu, dan melihat situasi negara kita yang sekarang rasanya random banget, aku jadi penasaran: apakah di masa lalu Indonesia memang selalu seburuk ini?
Menurutku, dengan baca buku ini, kita jadi tahu gimana keadaan Indonesia sekarang adalah dampak dari tokoh-tokoh masa lalu. Gimana kisah mereka bergelut demi keadilan, dan juga tentang oknum yang jadi alasan kenapa bangsa ini tumbuh dalam kesengsaraan.
“Laut Bercerita” mengisahkan tentang Biru Laut, seorang aktivis mahasiswa yang berjuang untuk keadilan di tengah hiruk pikuk politik tahun 90-an. Bareng teman-temannya, ia terlibat dalam gerakan yang mempertanyakan kekuasaan—pilihan yang super berisiko di era di mana menyuarakan kebenaran bisa berarti menghilang tanpa jejak.
Novel ini bercerita dari dua perspektif. Pertama, Sudut Pandang Biru Laut: Ini yang bawa kita masuk ke dunia para aktivis—persahabatan, idealisme, tapi juga ketakutan mereka. Kedua, dari Asmara, Kakak perempuan Biru yang ditinggalkan dalam ketidakpastian. Asmara harus hidup dengan pertanyaan yang nggak pernah terjawab: “Ke mana adikku pergi? Apakah ia masih hidup?” Gimana cara melanjutkan hidup ketika seseorang yang kau cintai literally hilang begitu saja?
Leila S. Chudori menenun kisah tentang orang-orang hilang paksa dengan cara yang intim dan menghantui. Ini bukan sekadar cerita tentang aktivisme, tapi juga tentang keluarga yang ditinggalkan, tentang trauma yang diwariskan, dan tentang keberanian untuk tetap mengingat ketika semua orang memilih melupakan.
Aku jarang banget nemu buku yang karakternya terasa kayak orang sungguhan—kayak orang yang mungkin pernah kita temui, atau bahkan diri kita sendiri. Tapi Leila S. Chudori berhasil. Biru Laut bukan pahlawan sempurna. Dia takut, dia ragu, dia juga cuma punya mimpi sederhana selayaknya pemuda seusianya. Asmara juga sama, dia terjebak antara ingin melupakan dan nggak bisa berhenti mencari. Kalian bisa beneran merasakan beban yang mereka pikul di setiap halaman, dan itu yang bikin hati kita ikut remuk.
Yang paling membuatku takjub, buku ini bicara soal sejarah kelam—orang hilang paksa, penculikan, rezim otoriter—tapi nggak dengan cara yang menggurui atau sok tahu. Penulisnya nulis dengan kepekaan yang luar biasa. Dia nggak melempar fakta sejarah ke wajah kita, tapi membiarkan kita merasakannya lewat emosi para karakternya.
Kamu akan paham betapa mengerikannya kehilangan seseorang tanpa kepastian, tanpa jenazah, tanpa bisa berduka dengan benar.
Gaya penulisannya puitis, tapi nggak bikin bingung. Aku suka banget gimana Leila menggunakan laut sebagai simbol—laut yang menyimpan rahasia, laut yang bisu tapi penuh cerita. Kalian nggak perlu jadi pembaca sastra berat untuk menikmatinya, kok!
Lalu tema yang diangkat begitu menarik yautu tentang cinta yang harus direlakan, kehilangan yang tak pernah sembuh, keberanian untuk berdiri meski tau resikonya, dan trauma yang diwariskan dari generasi ke generasi. Ini bukan cuma tentang Indonesia di tahun 90-an. Ini tentang setiap orang yang pernah kehilangan, yang pernah takut, yang pernah memilih diam atau melawan. Dan menurutku itulah alasan buku ini relevan, bahkan sampai sekarang.
Ada satu bagian yang sampai sekarang susah banget buat kulupakan—ketika Asmara terus menunggu. Menunggu tanpa tahu apa yang ditunggu. Menunggu kabar, kepastian, keajaiban yang mungkin nggak akan pernah datang.. Rasanya kayak hidup di limbo, tersangkut antara harapan dan putus asa. Dan yang paling menyakitkan: dunia terus berputar seolah nggak terjadi apa-apa. Orang-orang lupa, atau memilih untuk lupa. Tapi Asmara nggak bisa.
Membaca buku ini benar-benar mengubah caraku memandang sejarah. Selama ini, sejarah di buku pelajaran terasa dingin, cuma rentetan tanggal. Tapi “Laut Bercerita” membuatku sadar bahwa di balik setiap angka korban, ada nama, ada keluarga, ada cerita yang nggak pernah selesai. Buku ini mengajarkanku bahwa melupakan sejarah bukan hanya soal kehilangan pelajaran, tapi juga pengkhianatan terhadap mereka yang sudah pergi.
Kalau ditanya siapa karakter favoritku, jawabannya Asmara. Bukan karena dia paling heroik atau paling kuat, tapi justru karena kerapuhannya. Asmara adalah representasi kita semua yang ditinggalkan—yang harus mencari cara bertahan hidup meski ada bagian dari diri yang hilang selamanya. Dia memilih mengingat ketika semua orang memilih melupakan, dan itu butuh keberanian yang berbeda. Keberanian untuk terus mencintai meski sakit, untuk terus mencari meski tahu mungkin tak akan pernah menemukan jawaban.
Setelah menutup halaman terakhir, aku duduk terdiam cukup lama. Bukan karena bingung, tapi karena terlalu banyak yang ingin kurasakan. “Laut Bercerita” bukan buku yang bisa kamu lupakan begitu saja. Dia akan terus bergema, mengingatkanmu bahwa ada cerita-cerita yang harus tetap hidup, supaya tragedi tidak terulang lagi.

Kalau kamu tipe pembaca yang suka fiksi sejarah tapi bosan dengan gaya penulisan yang kaku dan membosankan, Laut Bercerita jawabannya. Ini bukan buku sejarah yang menggurui, tapi cerita yang membuat sejarah terasa hidup dan relevan. Buat kamu yang sedang mencari bacaan bermakna—yang bukan sekadar hiburan tapi juga membuka mata dan hati—buku ini akan memberikanmu lebih dari yang kamu harapkan. Ini bukan buku yang kamu baca sambil lalu, tapi buku yang akan membuatmu berhenti sejenak dan merenungkan banyak hal tentang kemanusiaan, keadilan, dan arti dari mengingat.
Kalau kamu pernah bertanya-tanya tentang masa lalu Indonesia, tentang apa yang sebenarnya terjadi di balik berita-berita yang disamarkan, tentang orang-orang yang hilang dan keluarga yang ditinggalkan—buku ini akan menjawab pertanyaan itu dengan cara yang paling manusiawi.
Tapi aku harus jujur, buku ini berat secara emosional. Jadi kalau kamu lagi mencari bacaan ringan untuk menghibur diri, mungkin ini bukan saat yang tepat. Laut Bercerita butuh kesiapan mental dan hati yang cukup lapang untuk menerima kesedihan yang ditawarkannya.
Intinya, buku ini untuk siapa saja yang percaya bahwa membaca bukan hanya untuk hiburan, tapi juga untuk belajar, merasa, dan tidak melupakan.
⭐ RATING AKU UNTUK BUKU INI:
9.8 / 10
Nilai yang sangat tinggi ini kuberikan bukan hanya karena plotnya yang kuat, tapi karena keberanian penulisnya mengubah fakta sejarah yang dingin menjadi kisah manusiawi yang menghantui.

