Membaca ‘Hati Nurani Melawan Kezaliman’: Ketika Hatta Bicara Soal Demokrasi yang Tersesat

Membaca ‘Hati Nurani Melawan Kezaliman’: Ketika Hatta Bicara Soal Demokrasi yang Tersesat

Aku harus spill buku yang bikin aku nggak bisa berhenti mikir soal moralitas dan politik: Hati Nurani Melawan Kezaliman: Surat-Surat Bung Hatta kepada Presiden Soekarno. Jujur ya, sebelum ini aku cuma tahu Hatta itu Wakil Presiden dan Bapak Koperasi. Tapi setelah baca surat-surat ini, aku sadar: dia adalah pahlawan hati nurani yang nggak takut berdiri sendiri.

Ini bukan buku sejarah yang kaku. Ini adalah surat pribadi yang menusuk!

Bayangin, dua orang yang memproklamasikan kemerdekaan Indonesia bersama-sama, yang kita sebut Dwitunggal, akhirnya harus berpisah jalan. Hatta mengundurkan diri dari jabatan Wakil Presiden pada tahun 1956, dan surat-surat ini adalah komunikasi terakhir mereka sebagai rekan kerja politik.

Buku ini berisi surat-surat Hatta kepada Soekarno, dari tahun 1957 sampai menjelang 1965. Isinya bukan curhat biasa, tapi peringatan keras dari seorang sahabat. Surat-surat itu mengungkap kekecewaan Hatta melihat arah politik negara yang makin ngawur menuju Demokrasi Terpimpin.

Yang paling membuatku terkesan, Hatta menulis surat-surat ini bukan untuk mencari popularitas atau menjatuhkan Soekarno. Kamu bisa merasakan ketulusan dan sense of urgency di setiap kata-katanya. Dia menulis karena dia tahu, apa yang dilakukan Soekarno saat itu berbahaya bagi masa depan demokrasi Indonesia.

poin utamanya yang bikin aku nggak bisa lupa adalah

Kritik Korupsi & Ekonomi: Hatta sudah memperingatkan Soekarno soal korupsi yang merajalela dan kebijakan ekonomi yang terlalu berorientasi politik, bukan pada kesejahteraan rakyat. Dia bilang, nggak ada artinya merdeka kalau rakyat tetap sengsara.

Ancaman Demokrasi: Hatta berulang kali bilang bahwa sistem Demokrasi Terpimpin itu bertentangan dengan cita-cita proklamasi. Dia melihat kebebasan sipil mulai dikekang dan lawan politik mulai dibungkam. Dia benar-benar khawatir Indonesia akan jadi negara otoriter.

Kesendirian Moral: Surat-surat ini ditulis saat Hatta sudah berada di luar kekuasaan. Ini menunjukkan betapa kuatnya moral dia. Ketika semua orang mulai diam atau menjilat penguasa, Hatta tetap bicara dengan hati nuraninya.

Membaca buku ini seperti mendengar suara hati seorang negarawan sejati. Aku sadar, Hatta memilih menjaga integritas daripada mempertahankan jabatan atau kekuasaan. Itu langka banget!

Buat aku, buku ini mengajarkan:

  • Keberanian Berkata Tidak: Walaupun Soekarno adalah kawan seperjuangan, Hatta nggak ragu mengkritik demi kepentingan bangsa yang lebih besar
  • Sejarah Berulang: Ketika membaca peringatan Hatta soal korupsi dan kekuasaan yang berlebihan, rasanya kayak baca berita hari ini. Ini bikin kita sadar, kita harus belajar dari masa lalu agar kesalahan nggak terulang.
  • Definisi Pahlawan: Pahlawan bukan cuma yang gagah berani di medan perang, tapi juga yang berani mempertahankan kebenaran di ruang sunyi, seperti Hatta saat menulis surat di mejanya.

Aku yakin, kalau kamu tertarik sama dinamika politik dan moralitas, buku ini akan mengubah caramu memandang kedua tokoh besar Indonesia ini.

⭐ RATING AKU UNTUK BUKU INI:

9.7 / 10

Aku kasih nilai setinggi ini karena buku ini adalah pelajaran berharga tentang integritas dan kegagalan demokrasi yang disajikan dalam bentuk dokumen yang sangat personal dan tulus. Wajib baca buat semua yang peduli sama Indonesia.